Follow me @ndarikhaa

Wednesday, April 1, 2020

About ndarikhaa

14:02 0 Comments
ndarikhaa adalah nama resmi untuk media sosial gue, yang gue bikin selama 7 hari 7 malam, dengan istikharah, tahajud, plus puasa Senin-Kamis, ahaaa... Hal ini menunjukkan emang serempong itu gue nyari nama yang pass di hati buat media sosial gue sebagai wadah gue untuk bersenang-senang dari dunia rutinitas formal (Sorry buat kawan-kawan gue yang sering gue WA buat kasih penilaian calon-calon nama medsos gue kala itu).  So, here we used to called as "ndarikhaa", semuanya huruf kecil ya ga ada capitalnya walopun "n" di depan. Dan inget "a" di belakang ada dua yaah... Bukan inisial gebetan gue itu, bukan, seriusan bukan.

Okeh. Begitulah behind the scene nya. Ujung-ujungnya memang itu nama gue juga. Seluruh kawan akademis gue manggil gue "Ikha", sebab nama gue di buku absen yha itu sih. But, kalau kalian panggil gue "Ndari", gue lebih senang dan respek. Bokap gue bilang kalau Ndari itu berasal dari bahasa Jawa "dhadhar" yang artinya muncul, dan biasanya digunakan untuk kemunculan bulan purnama yang bersinar. Jadi, doa yang bagus bukan dari ortu gue, kalau kemunculan gue insha Allah akan selalu menyinari keberkahan untuk orang-orang di sekitarnya? Aamin.

Gue lahir dan besar di kota tercinta menurut gue : B E K A S I. Mulai dari TK, SD, SMP, SMA gue cuma nguplek di Bekasi aja

TK gue cuma satu tahun di TK Mutiara Insani, di daerah Medan Satria, gak tau deh itu TK sekarang masih ada apa enggak? Berhubung gue sotoy waktu kecil, maunya main sama gangster anak TK B, jadi waktu kawan-kawan TK B gue pindah ke SD, gue ikutan donk choy. Karena menurutku anak TK A cupu-cupu banget, gak level gue main sama mereka.

Sebab kesotoyan itu, gue kena karmanya kemudian. Jadi ceritanya gue cuma satu caturwulan (ahahah yang pernah ngalamin CAWU, fix kita seumuran). Orang tua gue pindah rumah, jadi gue pindah sekolah. Karma bocah-bocah cupu-pun dimulai. Gue susah donk daftar SD yang mau terima gue karena belum cukup umur. HAHAHAH SOKOOORRR....!!! Alhamdulillah ada tuh satu SD yang mau nerima gue karena liat rangking gue lumayan. Tau gak namanya? SD SEJAHTERA 1, yang kemudian berganti nama menjadi SDN BAHAGIA 02! Ahelah gak jauh-jauh ya? Dari Sejahtera menjadi Bahagia, gak sekalian aja, Sakinah, Mawadah, waRahmah gitu ye.

SMP gue di SLTPN 5 Bekasi. Hai Rachel Venya! Kalo kenal dari dulu gue belajar wiraswasta sama loe kayaknya cucok yeah. Jaman dulu mah klo sekolah kita goes sepeda mini doank, itu lho yang ada keranjang di depan sama boncengan di belakang. Gue pernah mau diajak tawuran sama anak SMP swasta dekat SMP gue. Cuma gara-gara gue kalo naik sepeda itu super ngebut, jadi dikira dia gue tuh nantangin dia. Yaelaahh... sensi banget situ yha bro! Cowok pula yang nantangin eike,,haduh Pi Di Ae (Pleas Donk Ach!).

SMA gue cuma loncat kecamatan, di Agus Salim, SMANSASI. Haha naik motor juga gue. Fix gue bukan anak angkot. Gue trauma sama copet kalau naik angkot tuh. Dan seperti biasa gue tukang ngebut, pernah shubuh-shubuh, gue pakai helm fullface MDS. Gue ngejar waktu. Eh gak taunya gue dikejar anak geng motor! Mereka mau nyerempet gue. Untung otak gue gercep. Jadilah helm itu gue buka langsung, biar tau mereka yang mau diserempet kaka-kaka berjilbab. Hadeuuu dasar terong-terongan! Ngeloyor doank pas tau gue cewek, malu doi salah ngajak ribut.

Kuliah gue pun mentok, gak bisa keluar dari Jawa Barat. NASIB. Alhasil cuma bisa milih universitas itu-itu aja. Kuliahlah gue di UI (hatinya teteup Yogya yah wkwk...). Gw ambil jurusan Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat. Emang dasar nasib! Saat gw dapat kesempatan beasiswa kantor untuk lanjutin magister ke Yogya, eh bos di kantor gw gak ijinkan selain UI. Ya sudahlah gw reunian lagi ama dosen dan jurusan gue kembali kala s1. Kali ini, tekad gw luruskan untuk mencintai UI dari awal, alhasil lumayan lah nilai gue ketimbang pertama dulu, tapi tetep aja somplak. Academy is not my passion actually.

Sekarang? Yaaahh...gue ada di dunia untuk pengabdian tanah air dan bangsa banget! Ya passion gue memang NKRI banget.

Hanya saja gue berada pada dunia yang too formal menurut gue. Jadilah blog ini, sebagai cara lain gue mencari kenyamanan hidup, dunia imaji tanpa batas yang bisa gue explore. Meskipun lebih banyak draftnya, tapi ini sangat membantu gue untuk menyenangkan hati dan pikiran gue (walaupun nulisnya setelah urusan negara kelar duluan yah...hihihi).

Doakan semoga istiqomah untuk nge-Blog ya gaess!
Nice to know you sob!

Monday, July 29, 2019

Keindahan Rinjani via Jalur Torean Selalu Terukir di Hati

20:22 65 Comments
Hamparan bukit di Torean (dok. pribadi)


Kalau ditanya gunung apa yang paling berkesan bagi saya? Jawaban saya masih sama : Rinjani. Kenapa? Karena dari seluruh poin yang saya inginkan dan saya mau kunjungi jika saya mendaki ada di Rinjani. 

Saya suka sabana, ada. Saya suka suasana pedesaan, ada di Rinjani. Saya suka gunung dengan lekukan kontur hijau seperti Gunung Batok di Bromo, ada juga di Rinjani, justeru lebih banyak. Gunung dengan air terjun sekaligus pemandian air panas? Ada di Rinjani. Hewan gembala tak bertuan? Ada di Rinjani. Gunung cantik tapi butuh adrenalin panjat-memanjat seperti Gunung Raung? Ada di Rinjani. Gunung dengan danau di ketinggian? Ada donk! Spot foto cantik, ajib, atau menantang? Pastinya deh gak perlu ditanya lagi. Cus lah kudu ke Rinjani! Eits tapi sebelumnya, boleh disimak pendakian kedua saya ke Rinjani melalui Torean ini ya. Ke-dua? Iya donk ke-dua, kalau Rinjani tak semempesona itu, bakal banyak pertimbangan untuk balik ke sana lagi. Cuss lah….

CARA MENUJU TOREAN

Terkadang untuk mengambil langkah serius diperlukan kenekatan dan spontanitas yang kokoh agar kita tidak ragu dalam mengambil keputusan itu sendiri (#hazekh).  Kenapa saya bilang begitu? Karena kalau terlalu banyak dipikirkan, alhasil rencana yang kita pikirkan, bisa jadi tidak terlaksana karena terlalu banyak menimbang sisi baik buruknya. Berbeda dengan rencana spontan yang kami ambil ini, tepat Juli setahun lalu, kami bertiga chit-chat di kereta, mengulas keseruan perjalanan kami di Raung tahun sebelumnya. Hingga tercetus…

“Wah libur kerja gue tinggal setahun lagi nih, seru kali nih Rinjani via Torean.”, gurauan saya kala itu di KRL.

Gayung pun bersambut. Kedua orang adik saya yang kebetulan belum pernah sampai di puncak Rinjani (yang seorang memang belum pernah ke Rinjani, yang seorang setiap ke Rinjani selalu gagal sampai puncak, meskipun sudah tiga kali ke Rinjani), sangat semangat mewujudkan kelakar saya. Alhasil, perbincangan di KRL ketika sampai di tujuan akhir Stasiun Bekasi, menghasilkan kesimpulan, Rinjani via Torean, 21-25 Juli 2018, agar dapat melihat purnama di puncak Rinjani. Kita Berangkat! Bungkus!

Satu hal yang harus di garis-bawahi. Melakukan perjalanan melewati jalur Torean, harus bersama porter/penduduk setempat  yang sudah paham betul jalan dan kondisi jalur Torean. Berhubung yang saya ajak adalah dua dedek-dedek, alhasil haruslah saya berhemat. Caranya? Kita ambil risiko tanpa porter.

What? Bahaya gak?
Tentu saja risiko yang kita ambil, berdasarkan riset dan perbekalan informasi sebanyak-banyaknya yang kami kumpulkan. Fakta bahwa jalur Torean itu berbahaya adalah benar. Kenapa? Hal ini dikarenakan jalurnya yang rancu, bekas jejak pijakan tidak sejelas jalur Sembalun maupun Senaru, karena masih sedikit yang melalui jalur Torean (belum menjadi jalur umum).

Lantas bagaimana caranya kami dengan percaya diri kesana tanpa menggunakan guide? Yap, kami mendownload track/jalur orang yang pernah mendaki melalui jalur Torean. Kemudian di sana kami menggunakan  jalur  tersebut dengan aplikasi di handphone salah satu dari tim kami. Alhamdulillah, aplikasi tersebut sangat membantu layaknya menggunakan Google Map atau Waze, Akan tetapi tanpa perlu membutuhkan sinyal (Ya kali nungguin sinyal di gunung!)

KENAPA VIA JALUR TOREAN?

Perlu diketahui hingga saat kami mendaki tahun lalu, pendakian dengan menggunakan jalur Torean terlebih dahulu belum ada perizinannya, karena belum ada surat izin masuk wilayah konservarsi (SIMAKSI) yang resmi melalui jalur Torean. Bisa dikatakan, jika mendaki dengan gerbang awalnya dari jalur Torean, maka termasuk pendakian illegal.

Oleh karena itu, berdasarkan saran kenalan adik saya, maka kami disarankan agar mendaki melalui jalur Sembalun (agar tercatat secara resmi) dan barulah dijemput di Desa Torean dengan memberikan waktu perkiraan sampai kami di Desa Torean nantinya. Hal ini tentunya penting untuk keselamatan kami sendiri.

Saat kami tiba di Desa Torean tahun lalu, kebetulan baru saja dilangsungkan rapat Desa, bahwa jalur Torean akan dibuka resmi lho. Kita tunggu saja nanti kabar bahagia Torean akan menjadi jalur resmi. Oh ya, sekedar tips, karena masih banyak penduduk ataupun porter yang meragukan pendakian tanpa guide penduduk lokal, jika di jalan ditanya turun lewat mana bilang saja “masih pikir-pikir dulu lewat Torean”. Dengan mengatakan hal tersebut, justeru akan semakin banyak informasi yang didapat dari guide lokal dan wejangan cara terbaik melalui jalur Torean.
Okeh! Saya mulai ya kenapa harus Torean.

Lekukan Dua Tebing Gunung

Lembah diantara dua bukit jalur Torean (dok. pribadi)


Sepuluh menit berjalan dari segara anak menuju Torean melalui jalur belakang WC Umum di Segara Anak (FYI  di Segara Anak sudah ada WC umum, dan menjadi patokan sederhana menuju jalur Torean), yang saya rasakan adalah saya sedang berjalan menuju dimensi lain antah berantah. Dimensi yang memiliki batas dunia nyata dan dunia hayal alam pikiran bawah sadar bagi siapapun yang melewatinya.


Hembusan angin menerpa wajah, mengibarkan slayer, jibab, atau apapun yang berjuntai pada siapapun yang berjalan melangkah di sana. Ketika kaki mengayun, langkah kaki seolah berirama dengan gerakan ilalang yang kompak menari seirama dengan hembusan angin.


Hal paling tepat yang menuntun intuisi saya saat itu adalah : “Ndar, jalanlah perlahan, berhenti sebentar, hiruplah bau angin bercampur ilalang ini yang menari beriringan. Hirup napas paling dalam, dan hembuskan perlahan. Pejamkan mata barang sebentar, biarkan angin menampar wajah di tengah terpaan mentari pagi yang dengan semangat memancarkan sinarnya.” Ya, waktu masih pagi menunjukkan pukul sembilan Waktu Indonesia Bagian Tengah (WITA).

Suasana Torean yang memanjakan daya imajinasi (dok.pribadi)


Salah satu jalur di Jalur Torean (dok.pribadi)



Semakin lama melangkahkan kaki, maka tebing semakin terbuka di antara dua punggungan gunung. Semakin tebuka, terbelah, nyata hijau menghampar. Dan saya? Ya berada di tengah-tengahnya hanya secuil titik diantara dua lekukan hijau yang menghampar luas. Subhanallah, kuasa Tuhan menciptakan pemandangan seapik ini.


Saat  saya berkhayal, maka setting film Narnia, Lot of The Ring, Jurasicworld, dan Jumanji berbaur di otak kanan saya menjelma menjadi hamparan pemandangan di depan saya waktu itu. Well,  maka nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan dengan pemandangan semahal itu.

Apa yang membuat mahal? Saya dan tim saya berempat menjadi saksi di tengah-tengah alam semegah dan seeksotik yang kami saksikan, tanpa gangguan dari keriuhan dan keramaian manusia. Yang terdengar hanya suara-suara jangrik, monyet, dan burung yang bersahutan di tengah hembusan deru angin. Pemandangan ternyaman yang saya nikmati selama mendaki gunung.


Sumber Mata Air Panas



Sumber Mata Air Panas di Belakang Segara Anak (dok.pribadi)




Menurut saya, adanya mata air panas pada saat mendaki gunung adalah bonus langka yang saya dapati. Selain saya tidak kuat dingin sehingga menemukan kehangatan air panas adalah suatu kebahagiaan, bonus lainnya ketika  berendam di air panas adalah dapat merelaksasi otot-otot saya yang menjadi kencang selama mendaki. Dua kali saya ke Rinjani, dua kali saya tidak melewatkan kesempatan berendam di sumber mata air panas di belakang area camping Segara Anak.

Sungguh! Bak berendam di bathtub besar alami dengan wallpaper air terjun nyata yang membentengi sumber-sumber mata air panas tersebut. Saat di Segara Anak yang lalu, saya berendam air panas malam-malam ditemani sinar cahaya bulan Purnama yang saat itu berbarengan dengan fenomena blood moon. Sungguh indah luar biasa malam itu di mata saya (tapi ternyata berbeda di mata teman perempuan saya satunya yang ternyata ahahaha... dia baru cerita setelah di Mataram, next saya tulislah).


Sumber mata air panas di belakang Segara Anak dikelilingi aliran air sungai normal dan air terjun kecil bersuhu normal/dingin. Akan tetapi, beberapa spot mata air untuk berendam membentuk lingkaran-lingkaran kecil sehingga membentuk perkomplekan mata air alami untuk berendam (ahahaa…perkomplekan!).


Tidak jauh berbeda dengan mata air panas di Segara Anak, 30 menit perjalanan jalur Torean dari Segara Anak, maka kami menemukan beberapa sumber mata air yang sangat jernih berlatar pemandangan terbuka hamparan lekukan hijau punggungan gunung Rinjani. Konon, banyak pendaki yang menghabiskan waktu bermalam membuka tenda di sekitar area mata air hangat tersebut.
Sumber Mata Air di Jalur Torean (dok.pribadi)



Ada sekitar 4-5 kubangan mata air yang membentuk lingkaran bundar. Kami bisa memilih mata air mana yang ingin disinggahi untuk kecipak-kecipuk  main-main air. Saat kami tiba di sana, beruntung kami bertemu sekitar 18 orang anak aseli Lombok Tengah yang sedang hiking asyik tanpa membawa perlengkapan mendaki. Keberuntungan untuk kami, kami mendapatkan guide penunjuk arah gratis karena salah satu diantara mereka sudah berkali-kali melalui jalur Torean dan hapal betul dengan jalan. Sayang, mereka bukan jalan-jalan, tapi setengah berlari, sehingga kami pun terpisah jarak dengan mereka. Eits, kami kan punya GPS yang sejauh ini ampuh menuntun jalan kami. Jadi kami melanjutkan perjalanan berpatokan dengan GPS.


Lima menit dari sumber mata air yang berkelompok ini, ada sungai beraliran air panas yang bentuknya indah seperti anak tangga. Kami pun berswafoto mengabadikan momen indah tersebut.
Air Terjun Air Hangat di Jalur Torean (Dok. Pribadi)


Oh ya, di dekat sumber mata air panas ini, sebetulnya dekat dengan Goa Susu (yang terkenal di Jalur Torean). Namun, anak-anak Lombok Tengah itu bilang tidak terlalu bagus pemandangannya dan hanya tempat untuk bertapa saja, jadi tim kami agak malas menyambangi Goa Tersebut. Kebetulan, saya baru saja datang bulan, saat di Segara Anak. Jadi, daripada ada kejadian macam-macam, amannya tidak perlulah saya kepo ke tempat yang memang sering digunakan untuk bertapa itu. Meskipun ternyata…. Jalur Torean tidak cukup ramah untuk wanita yang sedang haidh datang bulan (kapan-kapan saya tulis sesi tersendiri kisah-kisah mendaki sambil datang bulan lah yaa.. n_n).

Membelah Sungai Bening, Toska, dan Berakhir pada Air Terjun Toska

Coba-coba kamu bayangkan. Selama kamu melalui jalur Torean, maka jalur yang disarankan untuk kami lalui sesuai GPS adalah menemukan aliran sungai, menyusuri sungai, berjalan di sisian sungai, menyeberangi sungai mulai dari alirannya masih kecil hingga kami menemukan aliran sungai yang cukup deras, kemudian kami berpisah dengan sungai tersebut, memanjat tebing, sehingga dari atas tebing, kami dapat melihat kelok-kelok sungai yang kami lalui tadi (sungai tersebut bernama sungai Lokok Putih). Seindah itu jalurnya!
Salah satu aliran anak Sungai Lokok Putih (Dok. Pribadi)

Sungai tersebut sangat super super super jernih. Sayangnya tidak boleh diminum, karena ada unsur belerangnya. Ingat ya! Tidak bisa diminum! Anehnya fenomena yang saya juga tidak mengerti, setelah kami dari atas bukit punggungan Torean, aliran sungai yang kami lewati tadi, lama kelamaan berwarna toska. Hal yang lebih mengejutkan lagi, setelah kami lama meninggalkan sungai yang telah jauh tertinggal di belakang kami.

Pada satu titik, 4 jam perjalanan dari Segara Anak (versi kami, mbak-mbak santai, dikawal dedek-dedek lho ya), kami menemukan air terjun yang bernama Air Terjun Penimbungan dengan ketinggian 100-110 meter. Air terjun ini masuk dalam jajaran 10  Air Terjun Tertinggi di Indonesia. Aliran air terjun Penimbungan bersumber dari Danau Segara Anak, tak heran apabila debit alirannya terlihat sangat sangat deras.
Air Terjun Penimbungan dari bukit yang berlainan (dok.pribadi)

Dari seberang tebing, kami duduk bengong-bengong bego (tapi jangan kelamaan bego-nya, nanti lupa jalan pulang), menelanjangi kucuran aliran air terjun yang sangat deras tersebut dengan dasar cekungan air terjun  di bawahnya yang berwarna toska. Maka nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan? Terima Kasih Tuhan, bonus melihat pemandangan Air Terjun Tinggi di Indonesia selama melalui jalur Torean ini.


Melewati Sumber Mata Air Terenak Tiada Banding

Bagi yang sudah ke Rinjani sebelumnya, kalian setujukah kalau sumber mata air di Sembalun adalah yang terenak? Air dari mata air Sembalun, rasa sejuknya, menusuk hingga kerongkongan. Segarnya membius dahaga, hingga menyegarkan bagian otak terdalam (ah lebay lu Ndar!).


Saya sangat setuju kalau kalian bilang sumber mata air Sembalun yang terenak, sebab mata air di Segara Anak rasanya kurang enak untuk diminum (untuk lidah yang susah diajak kerja sama seperti lidah saya), kayak ada bau kayu kayu nya gituh.

Dalam urusan rasa air minum, lidah saya rewel dan cukup kurang bisa diajak kompromi jika minum air yang sedikit berbau maupun berasa seperti bau asap, bau arang, seperti rasa sepat, rasa langu atau rasa-rasa lainnya yang aneh ketika diminum (tidak termasuk rasa yang pernah ada diantara kita ya... #eh).


Oleh sebab itu, saya selalu membawa minuman sachet berasa seperti Nutri Sari, Adem Sari, Jess Cool, atau Pocari Sweat sachet dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan minum dari awal pendakian hingga akhir. Kebayang kan kalau saya tidak jadi minum hanya karena lidah saya tidak tertelan air putih yang berasa, bisa dehidrasi nantinya.


Jadi, kalian wajib percaya bahwa selama pendakian di Jalur Torean, kira-kira 2-3 jam perjalanan dari Segara Anak, di antara dua bukit yang dibelah oleh aliran Anak Sungai Lokok Putih kami menemukan mata air TERENAK selama mendaki gunung. Enak! Sumpah Enak Banget! Kalah itu merk Aqua. Mata Air dari Sembalun pun juga jadi kalah enaknya dibandingkan yang satu ini. 


Mungkin karena  mata air ini berada pada posisi yang lebih sulit dijangkau, jauh dari sumber pencemar manapun, sehingga rasanya jadi sungguh luar biasa enaknya. Saking enaknya, kami mengganti isi botol air minum kami dari mata air yang sebelumnya kami temukan di sungai jernih sebelumnya (bukan sungai berasa belerang ya). Kami ganti seluruh perbekalan air minum yang berasal dari mata air Segara Anak dan mata air Sembalun dengan mata air yang sangat segar ini. Sayang sekali bukan jika botol-botol persediaan air minum kami tidak diisi dengan mata air ini super enak ini? 


Kami melepas dahaga sepuasnya. Duduk memandangi bukit di seberang, ternyata memang banyak pipa-pipa besar yang sepertinya dialirkan ke masyarakat sebagai sumber air minum di desa terdekat. 


Kami semakin yakin bahwa mata air ini memang yang ter-enak! Selama saya naik gunung, mata air di gunung Papandayan masih termasuk kategori enak diminum langsung dibandingkan gunung lain yang saya datangi. Namun kali ini sumber mata air minumnya lebih segar, enak , dan ah sudahlah. WAJIB COBA POKOKNYA.

Sumber Mata Air diantara lembah dan sungai di Jalur Torean (dok.pribadi)

Tantangan Adrenalin

Alasan lain selain keindahan-keindahan yang disajikan di jalur Torean, ada juga beberapa tantangan yang tidak cukup sulit, namun jika tidak bekerja sama dengan team akan sedikit menyusahkan. Beberapa kali kami melewati tanjakan dari kayu-kayu yang hanya diikat tali rapiah plastik, bukan tali tambang yang tebal lho, ini tali plastik yang tipis. Agak deg-degan sejujurnya.


Sangat tidak safety, makanya harus super hati-hati, dibantu teman, dan sebaiknya tas cariel dilepas dulu. Beruntung saat kami melewati jalur tersebut, sedang ada team  lain yang juga lewat. Mbak-mbak lemah ini akhirnya turut dibantu oleh  mas-mas rombongan lain yang lebih strong. Selain itu, ada aliran sungai yang harus disebrangi, namun debitnya cukup deras. Kita harus berhati-hati agar tidak terbawa arus.
Anak Tangga di Jalur Torean, harus waspada dan hati-hati (dok.pribadi)

Jalur Torean yang samar akan pijakan manusia, juga menjadi tantangan sekaligus menguji kewaspadaan kami. Selama mendaki gunung, biasanya patokan jalan yang dilalui adalah mengikuti jejak sampah. Dikarenakan Torean masih tergolong sedikit yang melaluinya, jejak sampah memang ada, tapi tidak terlalu banyak. Sempat di awal memasuki jalur Torean kami terkecoh dengan percabangan, yang banyak cabangnya, sama-sama terdapat jejak sampah, sama-sama seperti sering dilalui manusia jalur setapaknya. Akan tetapi, hanya satu yang benar, yang lainnya (mungkin benar), tapi akan membuat jalur lebih panjang dan sebagainya.

Saat menguji jalur inilah, meskipun kami berbekal aplikasi track GPS , tetap saja, kami harus bekerja sama. Satu orang duduk sebagai patokan, yang lainnya menguji jalur benar tidaknya. Jadi, jangan ke Torean bersama kawan yang gak solid, dan gak setia kawan, bisa-bisa repot sendiri nanti.
Beberapa Jalur yang cukup terjal di Jalur Torean (dok.Pribadi)

Setelah berbagai macam keindahan yang tersaji di sepanjang perjalanan. Tibalah saatnya memasuki kawasan Hutan Torean. Hadeuuuuh Pe-eR banget menurut saya, setengah perjalanan jalur Torean sampai tiba di pedesaaan, 50% nya harus melewati hutan ini. Hal yang bikin was-was adalah pesan hampir semua orang dan porter lokal : “Jangan sampai kejebak malam di dalam hutan Torean”. Duh, Hayati jadi khawatir kan?

Ternyata benar gaesss…di salah satu wilayah Hutan Torean ini, terdapat daerah yang kondisinya gelap banget, super lembab, sangat basah, meskipun matahari masih terik dan bersinar terang. Coba bayangkan hayo, bayangkan kalau malam-malam di kegelapan kamu jalan di situ. Haduh, mon maaph sodarah, cukup sekian dan terima kasih. Siangnya saat matahari bersinar saja sudah gelap karena tertutupnya sinar matahari oleh lebatnya pepohonan tinggi dan rindang.

Saya sebagai yang terlemah fisiknya saat itu (karena cedera engsel kaki saya kambuh), yang tadinya jalan saja harus diseret, berubah pikiran setelah melihat kondisi Hutan Torean tersebut. Setelah beristirahat makan siang, saya perbanyak makan agar menambah asupan energi. Selama melewati jalur Torean saat itu, kira-kira hanya ada 8 team termasuk kami yang hari itu turun melalui jalur Torean. 

Tim terakhir yang menyapa kami dan sering susul-menyusul adalah tim beranggotakan 5 orang mahasiswa dari Bima dimana terdapat seorang yang cedera kaki. Berdasarkan info dari salah satu rombongan yang sudah pernah melalui jalur Torean tersebut, kami akan menemukan ladang jagung yang berarti sudah keluar dari kawasan Hutan Torean. Estimasi tim tersebut, sekitar 4 jam lagi dari posisi kami beristirahat makan siang kala itu, barulah kami tiba di ladang jagung.

Wow! Saat itu pukul dua siang. Perkiraan mahasiswa Bima tersebut adalah perkiraan jalan cepat ala mereka untuk kami selama 4 jam. Please lah, mereka saja yang berangkat dari Segara Anak 3 jam setelah kami, bisa menyusul kami hingga sejauh ini, berarti bisa jadi kami lebih dari 4 jam jika menggunakan tempo perjalanan seperti sebelum makan siang. Yakni tempo alon-alon asal kelakon.

Pusing kepala Hayati saat itu juga,  memikirkan akan terjebak Maghrib di dalam kegelapan hutan Torean. Hutan yang tanpa menunggu malam gelap, memang sudah gelap dalam teriknya matahari. Ohhh.. No!!

Setelah makan siang itu, saya mengajukan diri menjadi yang paling di depan, agar yang lain mengikuti tempo saya. Saat itu saya berjanji dalam hati. “Ya Tuhan, ijinkan saya membawa rombongan saya ini keluar dari Hutan Torean, sebelum matahari terbenam.”

Entah energi dan kekuatan dari mana? Setelah saya berjanji dan bertekad seperti itu, speed saya meningkat 4 kali lipat, kaki saya yang cedera tidak kerasa sakit lagi. Yang awalnya saya hanya mampu  berjalan dengan kaki terseret karena terkilir, bahkan saya bisa berlari membawa rombongan ke luar Hutan Torean sesuai target. Sebuah Keajaiban. Kami tiba di ladang jagung bahkan saat matahari belum terbenam. Dari ladang jagung tersebut kami memilih alternatif naik ojek lokal menuju desa Torean agar tidak terjebak petang.
Tarif Ojek dari Ladang Jagung setelah keluar Hutan Torean menuju Desa Torean (dok.pribadi)
Tantangan terbesar saat itu bagi kami adalah, tantangan melawan waktu untuk ke luar dari hutan lembab Torean. Ke luar hutan sebelum petang tiba dalam kondisi badan babak belur, terkilir sana-sini, dengan sisa energi setelah naik-turun bukit dan puncak Rinjani selama empat hari ke belakang. Sungguh tidak disangka.

YANG PERLU DIKETAHUI

Singkat cerita kami berhasil melalui jalur Torean dengan waktu  tempuh selama 8 jam, yakni pukul 09.00 WITA mulai jalan dari Segara Anak, dan tiba di ladang jagung pukul 17.00 WITA. Waktu yang cukup cepat, komentar dari Bapak porter kenalan kami. Sebaiknya jika ingin menempuh jalur Torean, tidak terjebak malam di dalam hutan, dan tidak terburu-buru, disarankan paling telat memulai perjalanan menuju Torean dari Danau Segara Anak pukul 07.00 pagi. Dari seluruh perjalanan, beberapa hal penting yang dapat disiapkan jika ingin melewati jalur Torean berdasarkan pengalaman kami adalah :
  1. Pastikan menggunakan jasa guide lokal/ porter sebagai penunjuk arah jalan, sebab jalur Torean masih samar. Jika menggunakan perangkat dan aplikasi pribadi, pastikan dalam satu tim terdapat anggota yang paham membaca arah di dalam hutan.
  2. Pastikan isi tas cariel tidak terlalu banyak, agar tidak berat membawa cariel saat melalui jalur-jalur tangga yang cukup licin dan ringkih sepanjang perjalanan.
  3. Pastikan perbekalan makanan cukup hingga ke luar Hutan Torean. Hal ini dikarenakan butuh banyak energi untuk bertahan di jalur turun pendakian melalui jalur Torean.
  4. Pastikan semua team memiliki tekad dan niat yang KUAT. Kenapa? Karena dengan tekad dan kemauan yang kuat semua bisa terjadi, termasuk tekad kami yang ingin ke luar Hutan Torean sebelum petang. Tanpa tekad kuat, semua akan terasa berat.
  5. Beberapa jalur dan infrastruktur pasca-gempa tahun lalu belum dapat dipastikan kerusakannya. Info terakhir, pendakian hanya diijinkan hingga Plawangan. Patuhilah peraturan dalam pendakian, untuk keselamatan pribadi. Semoga setelah dipastikan aman, jalur Torean, Sembalun, dan jalur Senaru dapat dilewati dan didaki hingga ke Puncak Rinjani.
  6. Setiap pendakian di bulan Juli di tujuan wisata internasional seperti Rinjani, akan lebih banyak bertemu dengan wisatawan mancanegara dibandingkan dengan wisatawan lokal. Pandai-pandailah beradaptasi dalam hal apapun.
  7. Dimanapun kita berada, baek-baeklah dan ramah dengan porter dan penduduk setempat. Kami selalu dapat lapak tenda bagus, dan sering ngobrol serta berbagi dengan bapak-bapak porter. Beda banget kan dengan postingan di instagram yang ramai terkait sekelompok pendaki lokal diusir oleh porter lokal demi  mementingkan wisatawan luar. Perihal etika dan tingkah laku kita yang memanusiakan manusia, dapat membuat kita dihargai orang lain tanpa perlu minta dihargai. Kami bahkan sempat diceri beras secara cuma-cuma dan gratis oleh penjual pocari sweat saat kehabisan beras dan tidak mau dibayar sama sekali. Terharu akutuh.
  8. Pastikan selalu berDOA dan meminta RESTU serta ridho orang tua dan keluarga. Dengan doa restu, segala perjalanan akan terasa ringan dan selalu dimudahkan (terlepas dari takdir kita sendiri). Memilih tanggal untuk melihat bulan purnama di puncak Rinjani, sehingga kami mempercepat jadwal kami satu minggu lebih awal mengikuti kalender bulan Hijriah dari rencana sebelumnya, membuat kami sangat bersyukur masih diberikan kesempatan merasakan indahnya Torean dari awal hingga akhir. Jika kami tidak memajukan tanggal perjalanan kami seminggu lebih awal, tepat setahun lalu, Rinjani sedang berguncang menunjukkan kekuasaan Tuhan dimana sejak 29 Juli 2018 dan beberapa bulan setelahnya Rinjani masih terdapat guncangan gempa susulan ratusan kali.

Terima kasih mbak Anis, Icus, Babal, kita berhasil menjadi tim yang solid sejak berangkat hingga pulang ke rumah dengan selamat.


Pertanyaan, saran, serta diskusi yang membangun bisa ditambahkan di kolom komentar ya kawan. Terima kasih telah membaca sepintas perjalanan tim kecil kami. Oh ya, sekilas dokumentasi kami selama melakukan perjalanan Rinjani via Sembalun-Torean yang telah diupload di Youtube, dapat dilihat dengan cara klik link ini.

Tuesday, October 23, 2018

Menghapal Qur'an Berbanding Lurus dengan Akhlaq

21:50 2 Comments
Al-Qur'an sebagai pedoman hidup (dok.pribadi)



Malam itu kita berbincang dalam kemacetan Pantura, dimana playlist audio mobil memutar suara Ibrohim El Haq (Qorry Ammar TV favorite saya dengan alamat IG : boim97). Dan obrolan kita pun beralih seputar hapalan Qur'an. Saya teringat sohib saya satu ini yang cepat sekali hafalannya.


"Gw salut deh sama loe, yang bisa cepet banget hapalin ayat Al-Quran"
" Koq gue susah banget yah, ga tau males, ga nangkep, atau bisa jadi banyak dosa."

Dan dia-pun menjawab :
"Aku gak pernah narget koq mbak kalo hapalin surat. Paling satu hari dua ayat, terus besok ditambah lagi dua ayat, terus setelah 3-5 hari aku rekap, tahu-tahu hapal ajah gituh."
"Dulu pernah pas lagi tuntasin skripsi, yang paling lama hapalin Ar-Rahman sampai lebih dari tiga bulan. Itu masa-masa kritis ngapalin."

"Trus kayaknya apa yang kita lakuin juga memang ngaruh sie mbak. Antara perbuatanku sama hapalin Qur'an." 
"Jadi kadang kalo aku habis salah atau ngomong kasar ke ortu, kadang susah hapalan."
"Kalo lagi gak ontime sholatnya, ditunda-tunda, nanti mau ngehapal gak nempel-nempel."
"Jadi sekarang kalau lagi ngehapal tiba-tiba susah, jadi inget-inget diri sendiri. Akutuh dosa apa yah hari ini...?"

Dan, dalam gelap mulut saya cuma bisa bilang "Iyah itu emang bener hapalan berbanding lurus dengan akhlak."

Dan mau nangis di depannya pun malu. Tapi hati tuh bergetar banget sama kata-katanya. Masya Allah, alhamdulillah terima kasih banget sudah mengirimkan sahabat macam ini dalam hidup saya. Omongannya ngena, dalam, pun membekas. Haru banget ya Rabb. Pengingat dalam kebaikan kau kirimkan dengan cara renyah, ringan, yang tidak bisa diduga moment datangnya.

Fix serius! Kita sahabatan dunia-akhirat yaaa...
Tolong panggil aku jika dalam barisan penghuni surga tak kau dengar namaku dipanggilNya.
Begitupun aku.

Terima kasih sudah sering mengingatkan dalam kebaikan.
Terima kasih sudah sering mengingatkan mendekat pada Allah.
Terima kasih sudah sering mencontohkan sabar dan tabah.
Semoga ada hal positif dariku untukmu wahai sahabat.

Semoga kelak kita dipersatukan dalam jannahnya..
Aamin
#kontemplasiPantura




Thursday, October 4, 2018

Puding Mangga Sederhana Mang-Iky : Dibuat Spesial Penuh Cinta

07:27 0 Comments
Yak! Setelah absen vakum sangat lama dari dunia ulak-ulik berantakin dapur, akhirnya ku kembali lagih! Kali ini pingin banget ngewujudin khayalan buat Ikiku sayang. Jadi ceritanya hari Senin tuh mau ketemu sama dedek Ikiduth akuh yang bentar lagi besar, ga bisa dicubit-cubit , pegang, or peluk lagi pasti kalo dia beranjak dewasa. Jadi, kayak kepingin buatin makan dia aja gituh. Tapi kan ku belom bisa masak! Haha jadi yang simple dulu ajah... Jadilah terpikir : Puding Mangga!

Kenapa namanya puding Mang-Iky? Yhaaaa karena puding Mangga- khusus buat Iky #eaaaah

Akhirnya dengan kekuatan CINTA... tadaaaa... hari Minggu padahal pulang malem, dan minimarket udah kelewat. Akhirnya putar balik deh membeli bahan-bahan Puding Mangga beserta gelas-gelas plastik. Kali ini optimis berhasil! Padahal empek-empek yang waktu itu aja gagal total (karena emang iseng kali yah bikin pempek, gak diniatin buat siapa gitu...)

Bahan-bahan


   
Dan Bahan-bahannya adalah :
  1. 1 bungkus agar-agar swalow globe putih
  2. 2 sendok makan Tepung Maizena (20 gram) , dicampur air 50 ml, aduk
  3. 500 ml susu UHT Ultra (atau dua pack kecil)
  4. 1 sachect susu kental manis
  5. Jus Mangga Buahvita yang satu liter (yang dipakai 3 gelas kecil, lebih kurang 600 ml). Kalau punya buah mangga, lebih bagus lagi warnanya.
  6. 3 centong sayur Gula Pasir (sekitar 200 gr)
  7. 1/4 sendok teh garam 
  8. My Vla (atau buat sendiri sesuai pilihan)

Pengolahan

  • Masukan satu sachet agar-agar ke dalam panci (api belum dinyalakan), dicampur bahan nomor 2, aduk hingga merata
  • Masukan susu cair perlahan, aduk
  • Masukan susu kental manis, aduk. Barulah nyalakan api kompor.
  • Sambil terus mengaduk, masukan 3 gelas (@ 200 ml), perlahan, sambil aduk
  • Kemudian masukan gula pasir, sedikit demi sedikit sesuai selera kalau tidak suka manis, jadi 3 centong sayur (+/- 200gr), menghasilkan rasa manis Jambu, kemudian taburkan gara,
  • Aduk terus sampai mendidih, teksturnya nanti berwarna lebih kuning pekat, mengental saat sudah mulai mendidih.
  • Diamkan sebentar (siapkan My Vla, racik sesuai petunjuk)
  • Cetak puding pada cetakan yang telah disiapkan.

Hasilnya

Hmmmm... alhamdulillah jadi! Ya Allah, senangnya hatiku. Iky bahkan makannya sekali telan kemasan. Ya Rabb seneng banget akutuh ngeliatnya. Sayangnya ga bisa bawa banyak. Ribet choy Bekasi-Cikarang! Ternyata ngeliyat anak orang makan lahap aja enak bener yaaak, apalagi anak sendiri nantilah.. #kan kan kan mulai... hahaha....

Setelah itu, kumain sepuasnya bersama Iky. Sebentar sih, but Q-time banget!
Gyaaaaa sampai jumpa Iky versi remaja nanti, dimana bakal lebih tinggi dari Mb Ndari, lebih langsing dari sekarang (semoga), suara serak-serak banjir, dan makin ganteng ya Iky... Hihi... See you mmuah...

Don't Grow up so fast Ikyyy...








Wednesday, September 5, 2018

MUSEUM MACAN : cara asyik menikmati seni

10:34 37 Comments


Sudah tidak asing lagi bukan dengan Museum MACAN yang merupakan singkatan dari Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara yang terletak di AKR Tower Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Awalnya saya mengira kalau museum ini mengerikan dan berisi berbagai jenis hewan macan sebelum saya mengetahui kepanjangannya. Ternyata... wow isinya sungguh mencengangkan dan membahagiakan! Sebelumnya ada beberapa hal yang ja
ngan terlewat ya..

Menuju Lokasi

Bagi orang seperti saya yang mudah pusing dengan kemacetan ibu kota, kereta listrik (KRL) merupakan moda paling tepat yang saya pilih. Lokasi Museum Macan ternyata cukup mudah, tidak sesulit bayangan saya. Kita bisa turun di Stasiun Taman Kota (jalur KRL Tangerang), kemudian dilanjutkan dengan perjalanan sekitar 7 km menuju AKR Tower (jadi jangan mepet untuk estimasi waktu ya). Sedangkan dengan moda transportasi bus Trans-Jakarta, kita bisa langsung turun di halte busway Kebon Jeruk, dan hanya berjalan kaki sedikit langsung di seberangnya sudah sampai AKR Tower.

Museum Macan buka mulai pukul 10.00 - 20.00 WIB, buka dari hari Selasa s.d Minggu. Sepertinya kebanyakan museum libur di hari Senin, sebelumnya saya sangat semangat berangkat menuju Museum Macan, sampai tiba-tiba di tengah perjalanan baru ingat saat itu hari Senin, akhirnya saya kembali ke rumah.

Untuk tiket bisa dibeli online maupun on the spot. Saran saya pergi ke Museum Macan bukan di hari libur akan lebih nyaman, karena tidak terlalu ramai. Estimasi waktu untuk menikmati seni yang ada di dalam ini lebih kurang dua jam, kalau lebih lama juga bisa tergantung menikmatinya seperti apa.

Oh ya, ternyata tema museum Macan itu berbeda-beda, tidak seperti yang saya kira. Dahulu saat sedang ramai dan hits cerita dari kawan-kawan saya yang posting di instagram, karya seni yang dipamerkan lebih kepada jaman Perang Dunia, dan bertema sedikit perdamaian dunia.

Kunjungan saya kemarin ternyata menyuguhkan full karya Oma Yayoi Kusama dengan tema "Life is the Heat of Rainbow" yang berlangsung selama 12 Mei - 9 September 2018. Ternyata isinya berbeda dengan kawan-kawan saya yang sudah mencoba "infinity room" sebelumnya. Sebelumnya harga tiket Rp.50.000,- menjadi Rp.100.000,-. Hmmm... terdengar tidak murah ya? Namun sangat sebanding setelah menikmatinya langsung. Otak saya terasa terbebas dan "out of the box". 

Berikut rekam jejak saya mengabadikan momen yang mengasyikan ini :

Labu Polkadot


Pertama kali masuk, suasana hati pun menyenangkan disambut bola polkadot kuning-kuning besar seperti ini. Awalnya saya bingung, ini fungsinya apa ya? Ternyata ada bola-bola tertentu yang memiliki "sudut intip". Lubang kecil yang hanya ada di beberapa balon, bisa kita lihat seperti di bawah ini :

Oh, ya bola yang paling besar diantara bulatan-bulatan kuning tersebut juga dapat kita masuki lho untuk berswafoto. Saya terlewat masuk ke dalam booth labu yang paling besar saking takjubnya dengan interior seni di sana.

Narcissus Garden

Taman indoor ini tidak ada tumbuhannya sama sekali, justeru pada Narcissus Garden ini terdapat 1500 buah bola perak yang terbuat dari alumunium. Di tengah taman terpajang lukisan Yayoi yang besar dan mencolok. Di sini kita dapat berfoto, namun bergantian dan dilarang menyentuh ataupun menggesar posisi bola-bola perak yang dipajang.


Colurfull vs Black-White

Selain mebuat hasil karya seni yang menarik, ternyata hasil lukisan Yayoi pun sangat banyak, unik, segar, dan menarik. Pada pameran ini, arena lukisan hitam putih dan warna-warni dijadikan satu arena tersendiri, sehingga pengunjung dapat menikmatinya sesuai katagori warna.



Ruangan Biografi

Ruangan ini berisi kisah Yayoi Kusuma, yang ternyata mmenderita penyakit tekanan mental sejak kecil akibat perang dunia pada saat itu. Dikisahkan semua karya berdasarkan perjalanan karir dunia seni dirinya yang hijrah ke New York. Kamipun tertegun, imajinasi yang beliau wujudkan adalah dunia khayal yang menemaninya sedari kecil.

All about Infinity

Jadi yang paling hits dari pameran ini adalah ruang "infinity room". Entah menggunakan teknologi sejenis pantulan cahaya dan air, ruang ini jadi sangat menakjubkan. Untuk masuk ke dalam ruangan ini maksimal 5 orang dan dibatasi antrean hanya 30 detik, jika ingin mengulang diperbolehkan, asalkan antre ulang.
Warna cahaya lampu selama 30 detikpun berubah-ubah, variasi bisa berubah dominan merah,biru,hijau,kuning, dengan hitam tetap paling dominan.





Beberapa foto di atas secuplik permainan spektrum warna yang dihadirkan oleh Oma Yayoi dalam peralatan seni 3D yang berbeda-beda. Duhhh..happy banget pokoknya...

Obliteration Room

Ruangan seni ini terpisah,berapa satu lantai di atas ruang pameran utama. Oleh karena itu, tiket sejak awal tetap harus dibawa oleh kita, sehingga tiket sebelumnya akan digunakan untuk masuk ke ruangan atas.
Di ruangan ini pengunjung diajak ikut berkreatifitas. Setiap 3 orang akan diberikan satu paket sticker bulat berwarna. Sticker tersebut bebas ditempelkan dimanapun, dan harus habis saat keluar. Kita diperbolehkan bermain dalam waktu 15 menit. Setelah itu boleh masuk kembali, namun antre lagi.



Tebak saya ada dimana hayoooo?

Selain gambar-gambar di atas, karya seni berupa patung, lukisan, dan bentuk-bentuk imajinasi Oma Yayoy masih banyak lagi. Apa mungkin imajinasi beliau menyenangkan yha? Jadi saya merasa happy di sana. Penikmat seni sesungguhnya banyak yang berdiam lama, di depan karya beliau, kemudian maju-mundur untuk merasakan sensasi seninya.





Yuk, untuk yang ingin refreshing otak, bisa ke sini sebelum nanti pameran Oma Yayoy nya diangkut kembali ke Jepang atau negara lain. Dan lokasinya sangat ramah anak lho, juga ada spot lokasi khusus bermain anak.

Monday, March 19, 2018

Ondo-Rante, Jalur yang membuat Deg-degan di Merbabu via Wekas-Selo

05:32 98 Comments

Apa yang terlintas dalam benak kalian bila saya menyebutkan nama gunung "Merbabu"? Indah? Sabana Cantik? atau Super Debu? Ya...ya.. semua itu benar. Akan tetapi satu hal bagi saya untuk menyebut gunung yang satu ini adalah "Rinjani KW Super" (minusnya hanya : ketiadaan danau di Merbabu saja). Kenapa demikian? Ya karena beberapa hal yang dimiliki Rinjani ada di Merbabu. Simak perjalanan tim kami di bawah ini. Secuil kisah yang akan saya torehkan untuk dikenang anak-cucu nanti.

Karekteristik Jalur Wekas



Wekas berada di ketinggian 1650 meter di atas permukaan laut (mdpl) yang terletak di Kabupaten Magelang Jawa Tengah. Kami mengakses daerah ini via terminal Jombor Yogyakarta menggunakan bus besar jurusan Yogyakarta-Semarang hingga ke Terminal Magelang, kemudian melanjutkan bus berukuran kopaja hingga di Gapura Wekas di pinggiran jalan. Melalui pinggiran jalan menuju basecamp Wekas kami menyewa mobil Elf, karena lebih kurang 2-3 km (lumayan bok kalau jalan kaki, menguras tenaga).

Suasana di Basecamp Wekas sangat saya suka, kalau ingin mandi atau bebersih terlebih dahulu, di sini cukup nyaman. Beberapa warung di sekitar basecamp  Wekas menyediakan berbagai jenis perbekalan yang dapat dibawa ke puncak gunung. Biasanya yang sering terlupa oleh saya adalah madu sachet, minuman berperisa cegah sariawan, minuman penambah ion, atau minuman yang dapat diseduh dalam keadaan hangat. Saya lebih memilih makanan cemilan dan minuman yang manis-manis mengandung glukosa saat mendaki karena saya tipikal "makhluk yang makan sedikit, tetapi banyak minum selama di gunung". Hal ini dikarenakan saya kurang suka buang hajat besar di gunung. Biasanya sebelum nanjak saya meng-sugesti pencernaan dan perut saya untuk berkompromi  sejenak hingga turun dari pendakian. Ya! Basecamp adalah tempat terakhir untuk tuntasakan segala hajat sebelum memulai pendakian. Coba deh!

Full Team bersebelas di basecamp Wekas sebelum memulai pendakian


Memulai jalur Wekas adalah memulai pendakian dengan kemiringan yang cukup curam. Menurut saya, awal permulaan pendakiannya saja sudah hampir 90 derajat. Saya merasa bersalah mengajak kawan saya yang melakukan pendakian kedua-nya langsung Merbabu via Wekas. Ini salah sob! Yang selalu saya janjikan pada kawan saya sebelumnya adalah : "Kak, view Merbabu keren! Jalurnya landai, tapi panjang, santai koq kak! Kawanku aja dari SMA mulai dakinya, kakak pasti bisa lah..."

Dan ternyata jalur landai nan panjang yang saya bilang woles itu adalah "Jalur Selo", bukan Jalur Wekas. Maafkan daku kak Diul... Hebatnya lagi dari seluruh anggota tim kami ber-sebelas, semua adalah pendaki pertama melalui jalur Wekas. Ajib!


Kira-kira seperti inilah kondisi jalur Wekas, jalanan cukup terjal. Pada awalnya melewati jalanan rapih yang di-cor dan banyak sekali pipa air. Setelah masuk ke dalam hutan, kami banyak berpapasan dengan penduduk yang mencari ranting kayu bakar. Pepohonan di sini tidak lebat, jarang-jarang, namun pepohonan cukup tinggi. Lumayan adem.


Hutannya cukup indah tipikal hutan tropis yang ditumbuhi pepohonan tinggi dan diselingi semak belukar yang juga tinggi.  Hingga pos 1 Wekas, kami masih bisa berfoto-foto ala pemain film India. Beberapa tamannya pun cukup bagus.

Kami memulai perjalanan setelah shalat Jum'at, dan tiba di pos 1 sekitar Ashar, dan ternyata kami tiba di pos 2 sekitar pukul jam 8 malam. Kami berjalan dengan kecepatan santai ditambah tragedi dua kawan saya jatuh terkilir.

Saat itu saya menemani kawan perempuan saya yang sudah cukup lelah, hingga akhirnya dia terjatuh. Tidak lama menunggu kawan perempuan saya yang tersandung akar, sweeper kami pun terkilir. Alamak! Ujian banget saya saat itu. Kami tiga orang terakhir dalam kesebelasan kami saat itu. Bimbang dua pilihan :

  1. Meninggalkan sweeper yang kakinya terkilir sambil membopong kawan perempuan yang habis tersandung? atau
  2. Jalan sendiri dan meninggalkan mereka berdua untuk memanggil bantuan kawan rombongan kami yang kemungkinan sudah tiba di Pos 2.
Akhirnya saya memilih membopong kawan perempuan yang tersandung dan lemas,  meninggalkan sweeper yang terkilir. Pertimbangannya, hari sudah mulai gelap, "ya kali eieke memilih jalan seorang diri di saat hari hampir Maghrib? Big No!". Hawa-hawa dingin normal dan tidak normal sudah bercampur-baur, Alhamdulillah masih diberikan rezeki sunset indah di jalur Wekas menuju Pos 2.



Sunset di Jalur Wekas Menuju Pos 2
Setiba di Pos 2, kami menunggu sweeper kami yang dijemput team lainnya. Sehabis itu, kita makan ayam bakar madu di ketinggian.


Saat itu bulan September, Sang Purnama sedang bulat penuh, dan ditemani cuaca yang super cerah. Bercumbu dengan alam sekaligus dengan Sang Pencipta alam semesta kala itu adalah suatu kenikmatan yang tak terkira kami dapatkan. "Maka nikmat Tuhan mana yang kau dustakan?".



Keesokan paginya, pemandangan Pos 2 Wekas, sangatlah menarik. Tidak berbeda seperti sunset sore sebelumnya, siluet Sindoro-Sumbing lagi-lagi terlihat jelas dan indah.

Dari Pos 2 wekas ini terdengar jelas suara air terjun. Sayangnya, jalur air terjun tidak sejalan dengan tujuan kami menuju Selo, jadi kami cukup puas hanya mendengarkan suara syahdu gemericik air terjun yang terdengar jelas.
Siluet Sindoro-Sumbing dari Pos 2 , Wekas-Merbabu.

Hari ke-2, masih Jalur Wekas- Merbabu, Jembatan Setan

Kalau di hari pertama saya bercerita bahwa kemiringan jalur Wekas yang hampir 90 derajat, dengan diawali jalur dicor, maka di hari ke-dua : Alhamdulillah, jalur semakin curam. Jujur saya semakin ngos-ngosan menelusuri hari kedua ini. Terlebih kami akan melewati jalur yang dinamakan jembatan setan I dan II. Saya tidak tahu persis kenapa namanya agak horor, yang pasti jalur disini sudah tidak ditumbuhi pepohonan nan rindang. Jalur semakin panas dan gersang, bebatuan, dan kanan-kiri jurang (mungkin ini yang dinamakan jembatan setan). Meskipun demikian, di jembatan setan yang kanan kiri berupa jurang, menurut saya jurangnya agak landai (tetapi tetep saja jurang ya? hihi...).

Sebelum sampai kawah dan jembatan setan ini, lagi-lagi saya memilih berjalan bersama sweeper untuk berjaga-jaga. Kejadian kedua yang saya alami dengan 4 orang terakhir adalah kariel logistik yang tiba-tiba terguling masuk jurang. Waktu itu jalanan bertingkat dan bebatuan. Kariel yang terguling tersebut berada di jalur setingkat di atas saya. Kawan saya tidak sadar saat kariel bergerak meluncur ke bawah jurang. Saya yang spontan melihat kariel dan kamera yang akan meluncur jurang, spontan saya tangkap kamera digitalnya saja (kalau saya tangkap kariel logistik khawatir ikut terbawa ke jurang...hihii). 

Sesaat sebelum cariel masuk jurang


Plassh... Pucat pasi-lah kami berlima saling pandang.
Kamera digital tertangkap.
Kariel berisi logistik dan tenda terguling. Glekk.

Segera dua orang sweeper lelaki tersebut mengecek kedalaman jurang. Alhamdulilah, nasib baik berpihak kepada kami. Jurang tersebut memang 90 derajat, namun banyak akar belukar dan ranting, sehingga kariel kami menyangkut dan bisa diselamatkan. Kemudian kami melanjutkan perjalanan menuju jalur terbuka melewati kawah dan Jembatan Setan.

Sekitar kawah Merbabu
Kalian pasti menebak-nebak apakah gunung Merbabu merupakan gunung berapi atau gunung mati? Ternyata gunung ini merupakan tipikal gunung berapi. Hanya saja diketahui meletus sudah ratusan tahun lalu di tahun 1560 dan 1797 (sumber : wikipedia). Foto di atas, merupakan sisa kawah yang terdahulu sepertinya. Kawah ini saya lewati setelah pos Helipad. Setelah  kawah, kami mulai melewati jembatan setan, setelah itu pertigaan menuju puncak Kenteng Songo dan puncak Syarif.
Jalur Sebelum Jembatan Setan

Nah... Kalian bisa lihat kan? Jalur ini diapit oleh dua lembah yang indah, landai, namun hati-hati, karena kanan-kiri ini sejatinya adalah jurang landai. Kami mulai harus lebih wasapada, meskipun sudah mulai lelah. Jalanan di depan akan lebih mulai mendaki ala-ala spiderman, karena bebatuan semakin merapat dan sempit.
Kira-kira kecuraman di belakang saya (baju orange), seperti itulah yang cukup menguras energi
Sesungguhnya, cukup Wow jalur Merbabu via Wekas. Setelah sampai melalui Jembatan Setan ini, kami tiba di persimpangan. Simpang ke kiri, yang lebih dekat, menuju Puncak Syarif. Persimpangan ke kanan, menuju Puncak Kenteng Songo berjarak sekitar 45-60 menit. Berhubung Puncak Syarif lebih terjangkau, dan hanya sekitar 10-15 menit saja menuju puncaknya, jadilah kami mampir sebentar ke Puncak Syarif.
View negeri di atas awan, Puncak Syarif, Merbabu 3119 mdpl
Setiba di Puncak Syarif, kami bingung. Mau apa ya di puncak? Entah kenapa feel di puncak ini tidak seperti puncak-puncak sebelumnya yang kami tuju. Pertama, kami masih harus menggapai dua puncak di seberang sana yang merupakan puncak utama Gunung Merbabu. Kedua, kami rombongan terakhir yang ada di Puncak Syarif, selebihnya sudah tidak ada rombongan setelah kami, dan hari mulai petang.

Hari mulai petang adalah kebimbangan bagi kami.
Melanjutkan perjalanan di hari yang mulai gelap, dengan seluruh anggota membawa berat beban cariel masing-masing? Ataukah kami berhenti untuk mendirikan tenda? Akan tetapi, memilih bertenda di puncak Syarif merupakan suatu hal yang tidak wajar. Tidak ada penghalang apapun di sini, risiko angin dan badai pun sangat besar. Akhirnya kami memutuskan untuk melanjutkan melintasi jalur Ondo Rante (yang artinya konon batu yang tersusun).

Melewati Punggungan Ondo Rante

Banyak yang salah menyebut bahwa jalur ini adalah jembatan setan (karena sesungguhnya jalur ini lebih setan dari Jembatan Setan). Okeh sebelum melewati jalur yang ter... (ingin bilang terkutuk tapi khawatir kualat saya), kami mendapatkan keindahan Merbabu yang jarang dinikmati oleh orang normal kebanyakan (ya kali, kami kurang waras memang sepertinya).

Setelah turun dari puncak Syarif, kami melintasi punggungan dan batuan "paling terjal" sepanjang perjalanan lintas Wekas-Selo. Mengapa? Karena kami butuh bantuan ditopang oleh pundak-pundak para lelaki yang bersedia kami injak, karena saking terjalnya. Namun, kami mendapat bonus sunset di jalur curam ini.
Sunset di tepian jalur lintas sebelum jembatan Ondo Rante

Antre turun tebing, di depan jaket hijau, turunannya tegak lurus.
Magrib kala itu, kami bersabar. Menunggu antrean menuruni tebing satu persatu. Tidak boleh gegabah, harus dengan ketelitian. Pasalnya kami membawa cariel yang cukup berat, kedua sudah mulai gelap, ketiga, kami butuh bantuan pundak dan kaki para strongman yang akan kami pijak.
Ini Foto di Siang hari Jalur Ondo Rante (sumber : infopendaki.com)
Foto di atas saya ambil untuk menggambarkan Jembatan Ondo Rante, yang sulit saya deskripsikan, jadi saya mengambil dari sumber lain. Biasanya orang yang melalui jalur Ondo Rante ini tidak membawa cariel. Bisa jadi mereka pendaki yang naik dari  jalur Wekas, dan hanya ingin main sebentar ke Puncak Kenteng Songo, atau sebaliknya mereka pendaki yang melalui jalur Selo dan ingin mengunjungi sebentar Puncak Syarif.


Kalian lihat sendiri bukan? Berjalan melipir tanpa beban saja, harus ekstra hati-hati agar tidak tergelincir. Bawahnya langsung jurang yang tidak terlihat dasarnya. Bisakah klean bayangkan? Kami bersebelas mlipir punggungan ini gelap-gelapan sambil membawa beban cariel? Jelas! Warbyasak kawan.

Melipirlah kami dengan berhati-hati dan dikomandani Mas Krisna (salah satu dari 4 arjuna yang mengawal 7 srikandi pada pendakian ini).

Mas Kris memberikan aba-aba sambil memberikan bantuan uluran tangan kepada para srikandi ini "Hati-hati ya, licin jalurnya, melipirnya pelan-pelan", kmudian......
"Bruuuukkkk"

Mas Krisna, baru saja berucap hati-hati, namun sepertinya pegangan beliau licin dan terlepas.

Mas Krisna jatuh tengkurap dari ketinggian 3 meter. Diam. Tidak bergerak. Sebagian perempuan yang spontan justru loncat jurang menuju Mas Krisna. Sebagian yang sadar kalau lompat jurang berisiko, memilih bersiaga.

Saya? Termasuk yang sadar jurang di depan. Saya hanya terpaku, dan terdiam dalam doa.

Doa saya yang paling ingin segera terkabul adalah "Mas Krisna, jangan meninggal di sini. Selamatkan Mas Krisna ya Allah", sambil bisa menitikkan air mata dalam kegelapan dan diam, saya menunduk.

Alhamdulillah. Antara doa yang terkabul dan takdir. Mas Krisna menunjukkan adanya tanda-tanda kehidupan dan mulai bergerak. Suasana sudah mulai tidak kondusif harus terus bergerak, namun kami harus lebih ekstra hati-hati, mengingat kami belum tiba pada tujuan.
Setelah melipir, kami menggunakan tali webbing untuk memanjat

Akhirnya kami memutuskan bertenda di Puncak Kenteng Songo
Entah mengapa perjalanan malam itu yang seharusnya hanya cukup ditempuh dalam waktu satu jam, menjadi lebih lama dari biasanya. Setelah naik menggunakan webbing, jalanan menuju puncak Kenteng Songo semakin ganas. Debu berterbangan mengaburkan pengelihatan kami, ditambah dua tim kami terluka Mas Fiyan yang terkilir dan Mas Krisna yang semakin lelah pasca jatuh di tebing Ondo Rante. Malam itu kami mendirikan tenda di puncak Kenteng Songo. Angin super kencang, hawa super dingin, tapi apa mau dikata. Sepanjang malam saya hanya bisa menggigil. Tenda tidak roboh pun sudah Alhamdulillah. Pilihan mendirikan tenda di puncak Kenteng Songo adalah pilihan terbaik bagi kami yang sudah terkuras energi.

Sunrise Puncak Kenteng Songo

Hingga tak terasa, di sekitar tenda kami mulai ramai dan riuh suara pendaki lainnya. Para pendaki dari bawah jalur Selo sudah mulai naik dan bersiap menyambut fajar. Bonus bagi kami, cuaca hari itu cerah, dan mentari dengan anggun sedikit demi sedikit memancarkan kilau jingga keemasannya.





Di Puncak Kenteng Songo inilah kami merasakan indahnya puncak Merbabu yang sesungguhnya.

View di depan tenda kami, langsung menghadap Merapi, yang tak pernah ingkar janji (#eh...)

Ketika Mentari dan Rembulan terlihat bersamaan

Mereka Berfoto pada Puncak Triangulasi
Pemandangan di puncak Merbabu begitu menggemaskan. Pemandangan luas terhampar diselingi lautan kapas tipis-tipis, kita bisa melihat beberapa gunung-gunung kecil di bawahnya. Gunung Ungaran, Gunung Telomoyo, Gunung Andong, dan lagi-lagi idola yang terlalu terlihat siluetnya Gunung Sindoro-Sumbing.

Akan tetapi yang paling mengagumkan adalah melihat kegagahan Gunung Merapi fullscreen dari dekat adalah yang paling mengagumkan. Oh ya, satu puncak lagi di atas puncak Kenteng Songo adalah puncak Triangulasi di ketinggian 3.169 mdpl.

Ada yang sudah berhasil menemukan kesembilan kenteng?
Foto di atas adalah gambar kenteng yang konon berjumlah 9, tetapi saya hanya menemukan 4 buah kenteng yang tersebar selama turun pendakian via jalur Selo.

Jalur Selo, yang landai nan Indah


Turun pendakian melalui jalur Selo, setelah menghadapi jalur Wekas, adalah sebuah kemanjaan yang hQQ. Kami seolah dituntun turun ditemani Sang Gagah Merapi yang sangat ramah, dengan dikelilingi padang rumput sabana kuning kehijauan.



Kapas-kapas tipis ini, sungguh membuat saya enggan beranjak dari spot ini.

Sabana di Selo, sangat mengingatkan kerinduan pada Rinjani
Yup, di spot inilah saya merasakan keindahan Merbabu tidak kalah dengan Rinjani. Bahkan sabana di sini lebih luas untuk dipijak dan dipakai untuk bertenda. Rasa Rinjani KW-Super komplit sudah, jalur yang cukup mendebarkan, perjalanan melintasi dua puncak (Puncak Syarif dan Puncak Kenteng Songo) dengan membawa-bawa cariel, ditambah bonus cantik sabana super luas yang dapat dipijak.

Diakhiri dengan debu melimpah Jalur Selo

Kami pikir, sudah selesai perjuangan dengan jalur yang menguras energi. Ternyata, masih tersisa satu jalur lagi, yakni jalur berdebu. Debu di jalur Selo menurut saya cukup parah, karena butirannya sangat halus dan partikelnya sangat ringan. Hal ini menyebabkan siapapun yang berjalan, dipastikan debu beterbangan. Di sinilah kekuatan kami diuji kembali. Siapapun yang berjalan harus berhati-hati. Namun, saya sangat menikmatinya. Ada sedikit tips jika kalian sudah mulai jenuh dan bosan dengan jalur. Tipsnya adalah berjalanlah dengan zig-zag. Meskipun terkesan lebih jauh, dengan berjalan zig-zag dapat mebuat pikiran kita tidak jenuh, dan tetap semangat melalui jalur yang mulai melelahkan.





Kapten, sang penyemangat.
Mas Fiyan dan Mas Krisna yang mengalami cedera, namun tetap berhasil menyelesaikan pendakian dengan tabah.
Yeay! Lagi-lagi saya the last three. Bersama Mas Fiyan dan Mas Krisna di akhir jalur pendakian Selo. Mereka dua orang yang mengalami cedera, namun tetap kuat dan tabah untuk terus melanjutkan perjalanan. Sungguh pendakian Merbabu saya kali ini sangat sulit terlupakan. Medan yang berat, ditambah adanya anggota team kami yang cedera merupakan suatu cobaan, yang jika dihadapi dengan bersama, cobaan tersebut terasa lebih ringan.

Jadi gaes... Jika kamu ingin mencoba jalur-jalur di atas, pastikan, mendakilah saat cuaca bagus. Bayangkan cuaca bagus saja, kami harus konsentrasi terhadap jalur. Jika ditambah cuaca buruk, dipastikan konsentrasi dan energi yang dibutuhkan harus lebih ekstra dan berlipat. Kecuali, kamu memang memiliki jiwa petarung yang tinggi. Bertarung dengan keputus-asaan diri sendiri... #haishh